Tak pernah ada hal yang
paling menyenangkan kecuali berdiam diri di sudut kamar bersama buku-buku yang telah
tertata rapi walaupun sewaktu-waktu dapat berceceran karena ketidakpastian. Dunia
terpaku kepada kehambaran rasa yang terselip disetiap malam, kota seakan mati
jika tak ada alunan musik yang selalu mengalun.
Tak ada pewarna dalam sebuah kehidupan ataupun cinta. Bagi Putra cinta hanyalah
pemanis rasa seperti halnya agama dalam kehidupan manusia yang menjadi candu
untuk dipelajari misterinya.
Agama dan cinta
memanglah suatu hal yang berbeda untuk ditelusuri, hanya saja keduanya
sama-sama mampu menghadirkan sebuah afirmasi bagi orang yang mengalami ataupun
merasakannya. Sebagian orang mungkin meyakini bahwa dengan beragama hidup ini akan
terarah, mungkin jiwa yang tenang akan didapatkan walaupun manusia tak dapat
menjangakau rasionalitasnya.
Hambar, itulah kehidupan
Putra. Setidaknya dia masih punya buku untuk teman sepi, setidaknya gitarnya
masih setia menggema untuk selalu dimainkanya. Tidaklah menjadi sesuatu yang
mengherankan jika selama ini Putra dianggap sebagai sosok yang misterius, menutup
diri pada rana social. Pemikiran yang bar-bar membuatnya memilih berdiam diri
menjauh dari keramaian dan berbicara seperlunya.
Kristian Saputra.
Sebuah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya, mungkin kedengaranya aneh
mengingat agama yang dianut oleh keluarganya adalah islam. Tak sedikit teman,
kerabat bahkan guru menganggap bahwa putra adalah pengikut kristiani, nama yang
seolah menjadi identitas bagi umat kristen menjadi bahan yang selalu
diperbincangkan dalam sebuah perkenalan.
Tahun 1999 terlahirlah
jabang bayi dari sepasang suami istri yang sedang menjerit akan kata pilu,
disamping berakhirnya rezim Soeharto yang membuat keluarga kecil itu terkena
dampak kerugian yang cukup besar. Bisnis beras yang telah dirintih oleh
keluarga putra hancur dalam sekecab mata, tak ada pembeli yang datang
berkunjung untuk menikmati butir-butir padi yang siap untuk dijadikan nasi. Itulah
mengapa kedua orang tua memberikan sebuah nama kristian bukan karena
kristenisasi namun karena sebuah situasi bangsa yang amat kacau karena krisis moneter.
Peristiwa reformasi
dampaknya memang begitu besar untuk perekonomian indonosia, harga pangan naik
melambung legit. Kota Jakarta yang sangat kejam saksi bisu berakhirnya
perjuangan kedua orang tua putra di perantauan. Semenjak peristiwa itu mereka
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Magelang kota sejuta bunga yang dianggapnya
kota yang sangat ramah menjadi tempat singgah untuk kembali, dan disinilah
Putra menuju pendewasaan diri.
Tidak ada yang
menyadari filosofi dibalik nama yang disandangnya, bagi orang yang baru mengenal
Putra mungkin akan menganggapnya umat kristiani. Padahal nama itu hanya
diprasastikan untuk mengenang sejarah bangsa Indonesia dan keluarganya.
J
Sore itu. Tentang perjalanan
senja yang membuat Putra berdiam diri di perpustakaan tempat ia berkuliah.
Buku-buku sastra menjadi favorit, tertata rapi pada rak 600, gemercik suara tak
menggema hanya saja hening menyayat telinga. Terlihat bayangan memerah diatap
langit, jendela perpustakaan seakan memesona dikala sore. Suasana itu membuat
tenangnya kalbu, melihat pengunjung perpustakaan yang berangsur-angsur pergi
tentu membuat suasana semakin hening menyenangkan hati bagi pembaca.
Tak pernah terselip di
benak Putra untuk mengenal kembali rasa yang pernah mati akan sebuah cinta.
Selama ini dia cukup berhasil menata sebuah pertahanan untuk menolak, cintalah
yang membuat manusia tersesat ketempat yang nestapa. Pengalaman yang pahit
seoalah tak ingin dirasakan lagi, penghianatan yang begitu dalam membuat sebuah
ikatan harus diakhiri.
Rembulan tenggelam di wajahmu
menjadi bacaan yang amat seru kala itu, sebuah novel yang dikarang oleh Tere
Liye memaksa imajinasi beranjak dari otak Putra. Halaman demi halaman telah
dibacanya, Putra memang sangat membenci perasaannya, namun kegemarannya
terhadap novel berlabel roman tak menjadi permasalahan. Novel yang menceritakan
kisah anak panti yang mencari jawaban atas pertanyaan orang tua selalu terselip
dalam pencarian. Namun, tak lepas dari kisah cinta dalam tokoh yang bernama
Raihan.
Raihan pria yang
dikenal nakal, suka berjudi, bahkan mencuri sedang dimabuk asmara karena menemukan
wanita yang anggun. Hal yang tak pernah dirasakan oleh tokoh Raihan, penemuanya
pada seorang wanita seolah merubah dunia yang sendu. Namun, sebuah usaha Raihan
tidaklah mudah, sikap wanita yang terlalu menutup diri membuatnya kewalahan
namun tak menghentikan semangat juang untuk meluluhkan hati pujangga.
Usaha demi usaha telah
dicobanya, sempat hampir putus asa namun sebuah angin sore menyegarkan hati
Raihan. Sosok wanita yang menjadi incaran selama ini akhirnya angkat bicara.
Namun keadaan semakin menjadi-jadi ketika wanita itu menceritakan masa lalu
yang begitu kelam untuk diterima oleh nalar. Pernah menjadi wanita penghibur menjadi
pandangan yang tak pernah dapat dibayangkan oleh Raihan, dan itulah yang selama
ini menjadi alasan mengapa wanita itu begitu tertutup pada sosok lelaki
terutama pada raihan. Rasa tidak pantas terlintas dari balik otak sang wanita
pujaan hati yang menganggap bahwa Raihan layak untuk mendapatkan wanita yang
terbaik. Lontaran kata itu membuat Raihan angkat bicara membuka sebuah aib yang
ia pendam jauh-jauh hari.
Manusia memang berhak
untuk melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu, namun hari-hari yang kita alami
kini tidaklah berhenti sampai disini karena masa depan kita masih mejadi sebuah
tanda tanya dan sekarang kita masih bisa memperbaiki. Raihan juga pernah
melakukan sebuah kesalahan yang mungkin jauh lebih parah dari apa yang
dilakukan oleh wanita itu mulai dari perkelahian, perjudian, bahkan pencurian
menjadi masa lalu yang tak pernah bisa dilupakan hingga kini. Sebuah kejujuran
yang melelehkan pasangan yang sedang jatuh hati, ego seakan sirna karena sebuah
kejujuran. Seketika dunia berhenti sejenak atas terlahirnya sepasang kekasih
yang saling mencintai.
Sebenarnya itu bukanlah
akhir dari sebuah cerita dalam novel Rembulan
Tenggelam di Wajahmu karena masih ada ratusan lembar yang perlu diselesaikan.
Akan tetapi waktu yang terus berjalan memaksa
Putra singgah dari meja baca perpustakaan.
Putra mencoba mengambil
sebuah gawai yang ia simpan disaku celana untuk melihat sebuah jam yang tertera
dalam ruang destop. Naas sebuah notivikasi chat dari seorang teman kelasnya
mewarnai sebuah keramaian di ponsel yang selalu sepi
“Hallo nama aku
Meliana, teman sekelasmu. Save Ya”
Sebuah chat yang tidak
digubris oleh Putra sedikitpun, bahkan ia hanya melihat dari notivikasi dan
memencet sebuah tanda “sudah dibaca” agar tidak mengelabu dan ditunggu oleh
teman kelasnya.
Putra mulai merapikan
tempat duduk yang berada di dekat jendela, bersiap untuk segera keluar dengan mengalungkan
kunci loker yang tergeletak di meja baca. Suasana perpusatakaan sangat hening,
hanya dijumpai satu-dua pengunjung perpusataan yang juga akan segera
mengucapkan selamat tinggal.
Novel yang ia baca
tidak dipinjam untuk dibawa pulang, melainkan hanya digeletakkan ditempat
pengembalian buku yang berada didekat tangga tempat ia akan melangkah kabur.
Padahal belum selesai membaca, namun karena tas punggung yang sudah begitu menggunung
membuat Putra tak berselera untuk menjadikan novel itu sebagai teman malam.
Putra berjalan menuruni
tangga berundak yang disusun berputar-putar agar perjalanan menuju ke puncak
tidak terlalu terjal. Suara sepatu pdh mengiringi langkah Putra dikeheningan,
suasana yang sangat sunyi benar-benar menghadirkan sebuah irama ketukan sepatu
yang begitu teratur, seperti music yang selalu mengalun.
J
Udara malam begitu dingin, lalu lalang
kendaraan berulang kali menyipratkan air yang tersisa dibahu jalan samping
barat perpustakaan. Sedari tadi Putra tidak menyadari jika hujan mengguyur isi
kota Jogja, keasikannya pada sebuah novel benar-benar menghilangkan kesadaran
pada langit yang telah memuntahkan segala isi untuk memberikan energi bagi
cikal bakal tunas yang akan tumbuh. Bahkan adzan magrib tak digubris, dunia
sastra benar-benar membawanya kedalam imajinasi cerita yang penuh fantasi.
Tepat didepan gerbang
kampus barat seorang wanita menyapa dengan melambaikan sebuah tangan. Mata putra
melirik ke arahnya, mencoba mengingat-ingat sosok wajah yang tidak asing namun
cukup misterius untuk dipikirkan. Putra yang berada di seberang jalan dari
kampus timur sangat penasaran namun seolah mengabaikan sebuah sapaan.
“Putra.. Putra mau
kemana?”
Putra kembali melirik
padahal satu langkah baru saja menjauh, naas kata hati membuatnya menghampiri wanita
berjilbab putih. Jalanan begitu ramai dilewati kendaraan yang membuat kakinya
seolah ingin loncat ke seberang.
Tatap matanya seraya
menengok ke arah kanan, terlihatnya sedan putih berlabel avansa yang mendekat.
Tin…tin… sontak suara avansa yang lewat menyipratkan beberapa liter air yang
menggenang dipinggir jalan. Celana putra basah, ban yang menggelinding
mencipratkan beberapa liter air. Amarah benar-benar merajai, kekecewaannya pada
sopir sedan yang tak hati-hati bahkan tidak berhenti untuk mengucapkan sebuah
permintaan maaf membuatnya geram.
Putra menengok dasar
aspal, melihat batu kerikil yang menggoda untuk menuntaskan sebuah dendam. Menunduk,
mengulurkan tangan kanannya untuk menggenggam sebuah batu kerikil yang diincar.
Putra hampir tidak sadar jika diseberang sana seorang wanita setia menunggu.
“Putra kamu ngapain?
Ayook kesini”
Sebuah teriakan yang
membuatnya terpanggil, membidik wajah perempuan yang telah menunggu. Raut
wajahnya begitu khawatir terekam pada mata Putra yang begitu awas. Wanita
berkaca mata, jilbab putih menghadirkan sinar meski muka yang tak begitu putih
namun cukup menyilaukan.
Putra tak menghiraukan sebuah teriakan yang membuat dirinya berhenti
sejenak, ambisi untuk membalaskan dendam pada sedan putih benar-benar menutup
kata hati. Kini Putra telah menggenggam sebuah batu kerikil, mencoba untuk
segera berdiri namun langkahnya terhenti. Tepat didepannya berdiri sosok wanita
yang sedari tadi telah menanti, menyebrang bagaikan kilat mencegah aksi nekat.
“maafkanlah, pemberi
maaf itu hebat lho”
Wanita itu mengulurkan
sebuah tangan, mengajak putra untuk berdiri melepaskan sebuah dendam yang
merangkul sedari tadi. Uluran tangan yang memaksa dunianya berhenti, senyum
yang begitu manis membuyarkan focus. Dendam yang menggelora berangsur-angsur
luntur, tutur sapa seorang wanita membuatnya luluh.
“makasih udah ingetin
aku”
Uluran tangan itu tak
digubris, meski hatinya terasa ditenangkan namun rasa takut itu masih menghampa.
Keadaan itu membuat Putra sedikit canggung, mengingat wanita yang begitu baik
untuk menolongnya dibalas ketus dengan sebuah perlakuan. “Aku bisa berdiri
sendiri tanpa perlu sebuah bantuan” Putra menggema.
“Minggir dulu yook,
takutnya kecipratan lagi”
Tanpa sebuah kata Putra
menurut pada bujuk rayu, wanita itu memang luar biasa meluluhkan Putra yang
keras kepala. Lalu mereka beranjak dari jalan, empat mata seraya melotot
mencari tempat persinggahan. Sampai pada akhirnya lima langkah telah dilalui,
Putra menemukan sebuah tempat ngobrol yang menarik untuk dijamahi.
“Di bawah pohon
beringin itu kayaknya asik” sebuah lontaran kata yang membuat wanita mengangguk,
seraya melangkah bersama menyusuri tempat yang cukup teduh untuk menentramkan
hati yang menyisakan dendam.
J
Tepat dibawah pohon
beringin, suasan tak begitu ramai terdapat 5 orang yang menjamahnya. Sepasang
pria berambut gondrong asik ngobrol diujung kursi paling kanan, ditambah dua
pria yang sedang asik mabar sudahlah cukup untuk menghapus suasana sepi di
malam itu. Tepat berada di pingir jalan, tengah terlihat seorang gadis memakai
masker yang amat resah menatap ponsel. Sepertinya dia sedang menungu seseorang,
terlihat dari raut muka yang sekali-duakali menengok jalan raya yang begitu
ramai berharap penantiantannya segera usai.
Malam itu menjadi
obrolah yang cukup panjang untuk Putra yang tak biasa bincang. Keduanya duduk
di sayap kiri jika seseorang membelakangi gedung FEBI, jarak yang masih terjaga
terlampau setengah meter. Wanita itu membuka sebuah obrolan, dengan sebuah
pertanyaan yang pernah terlontar tadi diseberang jalan.
“Aku abis dari perpus,
sebenarnya tadi mau ke Warung Makan” sebuah tujuan awal yang tertunda karena
seorang wanita yang menyapa dari seberang jalan membuat Putra banting stir
membalikkan sebuah tujuan.
“Maaf ya Put, gara-gara
aku celanamu basah seperti ini”
“ini bukan kesalahan
mu, aku yang gak hati-hati”
Sesaat keduanya asik
dengan dunianya sendiri, tak tau apa yang harus dibicarakan. Putra merogoh saku
celana, mengambil sebuah gawai yang ia bawa. Seperti biasa tak ada pesan masuk
kecuali pesan group yang selalu mewarnai keramaian disetiap malam, wanita itu
mencoba menanyakan sebuah hal.
“Putra tadi chat ku kok
ngga dibales?”
“chat yang mana?”
Nampaknya Putra tidak
menyadari jika wanita yang sedari tadi adalah Meliana yang memberi sebuah pesan
ketika ia hendak pulang dari perpustakaan. Wanita itu mencoba menyambar gawai
yang Putra genggam, dan berhasil merebutnya. Putra tak mencoba melawan sebuah
tindakan yang dilakakukan wanita itu, baginya sudahlah yang penting aku masih
bisa mengawasi gerak-geriknya.
“Tuh kan belom
disimpen”
“maaf abis aku ga tau
Meliana tu yang mana”
Wanita itu asik dengan
gawai milik Putra, tak menggubris apa yang dikatakan Putra, yang ia lakukan
hanyalah menyimpan nomornya sendiri di handphone yang Putra miliki.
“Aku kasih nama Meliana
ya”
“terserah”
“aku pasang pin biar
aku jadi yang nomor satu”
“gila kamu”
“bodo amat, orang chat
kamu isinya group semua”
Putra merebut gawai
yang dibawa si meliana, seketika itu suasana sedikit berubah. Jika hujan yang
telah mengguyur isi jogja harusnya dapat meneduhkan suasana, kini jadi nyala
api yang begitu membara dipenuhi rasa geram. Putra sedikit kesal dengan Meliana
yang berani mengacak-acak whatsapp yang ia punya.
“maaf Put, aku gak
bermaksud lancang” Meliana sedikit khawatir terhadap apa yang terlihat dari balik
wajah Putra, meski sinar lampu tak dapat menerangkan raut wajah seutuhnya namun
Meliana tetap dapat menafsirkan kesal yang berkobar dipikirannya.
“gapapa” jawab Putra
dengan ketus.
Meliana menelan ludah,
kini suasana kembali sunyi. Dua orang pria gondrong yang asik ngobrol telah
menghilang, begitu juga dengan yang sedang mabar. Sementara Putra dan Meliana
asik dengan dunianya masing-masing, tepat di pinggir jalan gadis berparas ayu
masih setia menunggu. Berulang kali gadis itu mengusap lengan, bisa ditebak dia
merasa tidak nyaman dan kedinginan.
Selang beberapa menit,
suara motor khas kenalpot nobi menghampiri tempat yang disinggahi. Motor matic
yang telah didesain sedemikian rupa menjadi pemikat para pecintanya, bisa ditebak
dia anak racing yang suka berkeliaran ditengah malam. Pakaian yang ia kenakan
mewarnai variasi motor yang ia tanggalkan, berani sekali melintas di kota Jogja,
Putra menggebu-gebu.
Motor itu berhenti
tepat didepan wanita yang terlihat sedang menunggu seseorang. Klek… Motor disandarkan
oleh pengendaranya. Membuka helm, terlihatlah pria berambut Putih namun masih
terlihat muda, menyapa gadis yang sedari tadi duduk didepan pohon itu.
Putra dan Meliana
melirik kearah mereka, “Mel kira-kira apa yang dirasain wanita itu?”
“Mungkin dia seneng,
kasian juga udah nunggu cukup lama”
“Dia kedinginan lho,
sampe usap-usap lengan”
“Kok kamu bisa sedetail
ini sii Put”
“hmmm” Lagi-lagi
keadaan semakin membisu tatkala Putra tak mengatakan sebuah jawaban yang
terlontar dari Meliana.
Putra kembali mengawasi
wanita bermasker itu, tangannya begitu mengepal seperti sedang merasa khawatir.
Namun, Putra tak berani menghampirinya karena semua masih praduga. Dari samping
kirinya Meliana sedang asik menatap wajah Putra yang begitu antusias mengawasi
wanita bermasker yang penuh misteri. “mel coba liat mereka”
“ada apa emang?”
“ada yang mencurigakan
nggak sih?”
“biasa aja tu”
Putra tak henti-henti melotot,
pandanganya begitu awas mengamati gerak-gerik mencurigakan. Pria berambut putih
itu merambatkan tangan mencoba menyentuh tubuh wanita, namun yang terlihat hanyalah
sebuah penolakan.
“Tolong, tolong, tolong.
Putra bergegas berlari menghampiri
mereka, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. “woii ngapain lu gak usah ikut
campur urusan orang”
“beraninya jangan sama
cewek dong”
Tangannya mengepal,
ancang-ancang mendaratkan sebuah pukulan yang teramat dahsyat, dan benar selang
beberapa detik tangannya menghujam pipi. Putra mencoba untuk membalas, namun
dari arah belakang Meliana mencoba mencegah dan menggampai tangan yang sudah
siap untuk kusambarkan di pipi pria berambut putih itu. “sudah Putra jangan
dibales, gak akan selesai”
Keadaan semakin mencekam
ketika satpam yang berjaga didepan gerbang berlari sekencang kilat sambil
berteriak menghampiri keributan.
“Woii kalian ngapain
ribut-ribut disini”
Pria itu terlihat panik
kedatangan satpam yang akan segera menerka, lalu mengambil ancang-ancang
menstater motor untuk melarikan diri.
“Woiii mau keman lu”
Sambar Meliana dengan gaya bicara kerasnya, sementara disatu sisi Putra ingin
melempar tas yang ia gendong kearah motor namun semua tindakan itu lagi-lagi
dihentikan oleh gadis bermasker.
“Sudah cukup gak perlu
dibalas, aku gapapa kok”
Seraya Putra melirik
wanita itu, suara yang tak asing baginya. Otaknya kembali berfikir mencoba
mengingat suara yang pernah didengarnya sambil menatap bola mata yang dimiliki.
“kayaknya aku gak asing sama kamu” terang Putra yang
ingin tahu.
“iya Put”
“Tuh kan kamu tau aku, kenapa nggak sapa aku tadi?”
“ga enak ada pacarmu”
“loh kalian saling
kenal toh, aku temen kelasnya Putra mbak” sambar Meliana
Wanita itu membuka
sebuah masker yang menempel diwajahnya, sontak terkejut Putra melihat wanita
yang tak disangka-sangka. Teman baru yang ia kenal beberapa bulan yang lalu
ketika tes masuk kuliah yang sempat membuat dirinya sedikit mengenal dunia,
hanya saja kelabu tetaplah terombang-ambing pilu.
“Sofia” Putra nampak
terkejut dan sumringah, seolah tak percaya bahwa perpisahan dikampus putih
bukanlah sebuah perpisahan yang terakhir, namun hanyalah sebuah jeda. Sahabat
baru yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri datang kembali.
“Mbak ayoo duduk dikursi
itu, sambil menenangkan diri” Meliana mengajak Sofia yang masih terlihat syok
akibat pria yang hendak berbuat kurang ajar terhadapnya.
Kursi
yang menjadi tempat nongkrong bagi kalayak orang seraya sepi setelah beberapa
orang berangsur-angsur pergi, sementara satpam yang bertugas tengah asik
mengejar pria yang hendak melecehkan gadis yang tengah asik menunggu dipinggir
jalan.
J
“Gimana keadaanmu Sof?”
“aku udah tenang kok
Put”
“syukurlah, oiya kamu
kok bisa ada disini?”
“aku nunggu dijemput
temen katanya sih dia mau aku anterin ke kosan”
“Ow.. kamu kuliah
disini too? Keterima di jurusan apa Sof?”
“iya Put, aku ikut tes
lagi kemarin dan kebetulan keterima di IKS fakultas dakwah”
Kebahagian terpancarkan di wajah Putra, gelapnya
malam tak membuat sebuah kebahagian ikut dilenyapkan. Hanya saja disatu sisi
Meliana yang mendung tengah asik mengamati ekspresi Putra yang begitu perhatian.
J
“Rintik
hujan tak beralasan tuk jatuh”
“Jatuhnya
membawa pilihan menangkan ataupun menghancurkan”
Ditengah keramaian yang
melenyapkan hening malam, terlihat seberkas sinar dari arah barat. Suara motor
kembali bergemuruh menambah kebisingan dimalam hari, Sofia yang tengah asik
bercengkrama melirik ke suara yang tak asing.
“eh aku pamit dulu ya
itu temenku udah datang” Sofia mulai beranjak dari tempat duduk sambil
melambaikan tangan pada pengendara motor.
“Sof hati-hati dijalan”
sapa Putra dengan penuh perhatian yang sedikit cemas.
“Iya Putra, makasih”
Putra hanya menelan
ludah ketika Sofia bergegas pergi tuk menemui pria itu, sementara disatu sisi
Pria yang hendak menjemput Sofia berhenti tepat didepannya menyapa dengan
sebuah anggukan kepala tanpa melepas helm.
J
“Bye-bye” ucapan
terakhir sebelum saatnya Sofia pergi sambil melambaikan tangan tanda
perpisahan.
Meliana tengah asik
menatap ekspresi Putra yang begitu tak ingin kehilangan Sofia yang telah pergi
bersama pria itu,
“Put kayaknya kamu
seneng banget tadi, kok sekarang keliatan sedih”
“sotoi kamu”
“iya eh, kamu beda
banget. Jangan-jangan kamu suka sama Sofia”
“Enggak Mel, kita baru
kenal waktu tes masuk kuliah disini”
“Owalah gitu”
J
Suasana malam semakin
sepi bahkan larut, beberapakali Putra melirik jam ditengah perbincangan yang ia
lakukan sedari tadi. Pejalan kaki yang berlalu lalang didepan pohon beringin tak
ditemui sekalipun, hanya suara jangkrik yang semakin menjerit dikala malam.
Malam itu terasa panjang baginya, sosok Sofia yang tiba-tiba hadir diantara
obrolan kecil yang ia lakukan bersama Meliana menambah panjangnya malam yang telah
kehilangan sinar rembulan. Malam yang semakin larut ditambah gerimis yang
menumpahkan sedikit hidupnya membuat mereka harus segera mengahiri perjumpaan
singkat itu.
“Aku pulang dulu ya”
“iya Put, maaf curi
waktumu”
“santai”
“sampai ketemu besok”
“Bye-bye”
Waw😆
BalasHapusLanjutkan, yingkatkan cristian saputra hehe salut sama adii
BalasHapuswkwk.. itu nama samaran
HapusGuuuud😍
BalasHapus