TABULA RASA

Tak pernah ada hal yang paling menyenangkan kecuali berdiam diri di sudut kamar bersama buku-buku yang telah tertata rapi walaupun sewaktu-waktu dapat berceceran karena ketidakpastian. Dunia terpaku kepada kehambaran rasa yang terselip disetiap malam, kota seakan mati jika tak ada alunan musik yang selalu  mengalun. Tak ada pewarna dalam sebuah kehidupan ataupun cinta. Bagi Putra cinta hanyalah pemanis rasa seperti halnya agama dalam kehidupan manusia yang menjadi candu untuk dipelajari misterinya.

Agama dan cinta memanglah suatu hal yang berbeda untuk ditelusuri, hanya saja keduanya sama-sama mampu menghadirkan sebuah afirmasi bagi orang yang mengalami ataupun merasakannya. Sebagian orang mungkin meyakini bahwa dengan beragama hidup ini akan terarah, mungkin jiwa yang tenang akan didapatkan walaupun manusia tak dapat menjangakau rasionalitasnya.

Hambar, itulah kehidupan Putra. Setidaknya dia masih punya buku untuk teman sepi, setidaknya gitarnya masih setia menggema untuk selalu dimainkanya. Tidaklah menjadi sesuatu yang mengherankan jika selama ini Putra dianggap sebagai sosok yang misterius, menutup diri pada rana social. Pemikiran yang bar-bar membuatnya memilih berdiam diri menjauh dari keramaian dan berbicara seperlunya.

Kristian Saputra. Sebuah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya, mungkin kedengaranya aneh mengingat agama yang dianut oleh keluarganya adalah islam. Tak sedikit teman, kerabat bahkan guru menganggap bahwa putra adalah pengikut kristiani, nama yang seolah menjadi identitas bagi umat kristen menjadi bahan yang selalu diperbincangkan dalam sebuah perkenalan.

Tahun 1999 terlahirlah jabang bayi dari sepasang suami istri yang sedang menjerit akan kata pilu, disamping berakhirnya rezim Soeharto yang membuat keluarga kecil itu terkena dampak kerugian yang cukup besar. Bisnis beras yang telah dirintih oleh keluarga putra hancur dalam sekecab mata, tak ada pembeli yang datang berkunjung untuk menikmati butir-butir padi yang siap untuk dijadikan nasi. Itulah mengapa kedua orang tua memberikan sebuah nama kristian bukan  karena kristenisasi namun karena sebuah situasi bangsa yang amat kacau karena krisis moneter.

Peristiwa reformasi dampaknya memang begitu besar untuk perekonomian indonosia, harga pangan naik melambung legit. Kota Jakarta yang sangat kejam saksi bisu berakhirnya perjuangan kedua orang tua putra di perantauan. Semenjak peristiwa itu mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Magelang kota sejuta bunga yang dianggapnya kota yang sangat ramah menjadi tempat singgah untuk kembali, dan disinilah Putra menuju pendewasaan diri.

Tidak ada yang menyadari filosofi dibalik nama yang disandangnya, bagi orang yang baru mengenal Putra mungkin akan menganggapnya umat kristiani. Padahal nama itu hanya diprasastikan untuk mengenang sejarah bangsa Indonesia dan keluarganya.
J

Sore itu. Tentang perjalanan senja yang membuat Putra berdiam diri di perpustakaan tempat ia berkuliah. Buku-buku sastra menjadi favorit, tertata rapi pada rak 600, gemercik suara tak menggema hanya saja hening menyayat telinga. Terlihat bayangan memerah diatap langit, jendela perpustakaan seakan memesona dikala sore. Suasana itu membuat tenangnya kalbu, melihat pengunjung perpustakaan yang berangsur-angsur pergi tentu membuat suasana semakin hening menyenangkan hati bagi pembaca.

Tak pernah terselip di benak Putra untuk mengenal kembali rasa yang pernah mati akan sebuah cinta. Selama ini dia cukup berhasil menata sebuah pertahanan untuk menolak, cintalah yang membuat manusia tersesat ketempat yang nestapa. Pengalaman yang pahit seoalah tak ingin dirasakan lagi, penghianatan yang begitu dalam membuat sebuah ikatan harus diakhiri.

Rembulan tenggelam di wajahmu menjadi bacaan yang amat seru kala itu, sebuah novel yang dikarang oleh Tere Liye memaksa imajinasi beranjak dari otak Putra. Halaman demi halaman telah dibacanya, Putra memang sangat membenci perasaannya, namun kegemarannya terhadap novel berlabel roman tak menjadi permasalahan. Novel yang menceritakan kisah anak panti yang mencari jawaban atas pertanyaan orang tua selalu terselip dalam pencarian. Namun, tak lepas dari kisah cinta dalam tokoh yang bernama Raihan.

Raihan pria yang dikenal nakal, suka berjudi, bahkan mencuri sedang dimabuk asmara karena menemukan wanita yang anggun. Hal yang tak pernah dirasakan oleh tokoh Raihan, penemuanya pada seorang wanita seolah merubah dunia yang sendu. Namun, sebuah usaha Raihan tidaklah mudah, sikap wanita yang terlalu menutup diri membuatnya kewalahan namun tak menghentikan semangat juang untuk meluluhkan hati pujangga.

Usaha demi usaha telah dicobanya, sempat hampir putus asa namun sebuah angin sore menyegarkan hati Raihan. Sosok wanita yang menjadi incaran selama ini akhirnya angkat bicara. Namun keadaan semakin menjadi-jadi ketika wanita itu menceritakan masa lalu yang begitu kelam untuk diterima oleh nalar. Pernah menjadi wanita penghibur menjadi pandangan yang tak pernah dapat dibayangkan oleh Raihan, dan itulah yang selama ini menjadi alasan mengapa wanita itu begitu tertutup pada sosok lelaki terutama pada raihan. Rasa tidak pantas terlintas dari balik otak sang wanita pujaan hati yang menganggap bahwa Raihan layak untuk mendapatkan wanita yang terbaik. Lontaran kata itu membuat Raihan angkat bicara membuka sebuah aib yang ia pendam jauh-jauh hari.

Manusia memang berhak untuk melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu, namun hari-hari yang kita alami kini tidaklah berhenti sampai disini karena masa depan kita masih mejadi sebuah tanda tanya dan sekarang kita masih bisa memperbaiki. Raihan juga pernah melakukan sebuah kesalahan yang mungkin jauh lebih parah dari apa yang dilakukan oleh wanita itu mulai dari perkelahian, perjudian, bahkan pencurian menjadi masa lalu yang tak pernah bisa dilupakan hingga kini. Sebuah kejujuran yang melelehkan pasangan yang sedang jatuh hati, ego seakan sirna karena sebuah kejujuran. Seketika dunia berhenti sejenak atas terlahirnya sepasang kekasih yang saling mencintai.

Sebenarnya itu bukanlah akhir dari sebuah cerita dalam novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karena masih ada ratusan lembar yang perlu diselesaikan. Akan tetapi waktu yang terus berjalan  memaksa Putra singgah dari meja baca perpustakaan.

Putra mencoba mengambil sebuah gawai yang ia simpan disaku celana untuk melihat sebuah jam yang tertera dalam ruang destop. Naas sebuah notivikasi chat dari seorang teman kelasnya mewarnai sebuah keramaian di ponsel yang selalu sepi
“Hallo nama aku Meliana, teman sekelasmu. Save Ya”
Sebuah chat yang tidak digubris oleh Putra sedikitpun, bahkan ia hanya melihat dari notivikasi dan memencet sebuah tanda “sudah dibaca” agar tidak mengelabu dan ditunggu oleh teman kelasnya.

Putra mulai merapikan tempat duduk yang berada di dekat jendela, bersiap untuk segera keluar dengan mengalungkan kunci loker yang tergeletak di meja baca. Suasana perpusatakaan sangat hening, hanya dijumpai satu-dua pengunjung perpusataan yang juga akan segera mengucapkan selamat tinggal.

Novel yang ia baca tidak dipinjam untuk dibawa pulang, melainkan hanya digeletakkan ditempat pengembalian buku yang berada didekat tangga tempat ia akan melangkah kabur. Padahal belum selesai membaca, namun karena tas punggung yang sudah begitu menggunung membuat Putra tak berselera untuk menjadikan novel itu sebagai teman malam.

Putra berjalan menuruni tangga berundak yang disusun berputar-putar agar perjalanan menuju ke puncak tidak terlalu terjal. Suara sepatu pdh mengiringi langkah Putra dikeheningan, suasana yang sangat sunyi benar-benar menghadirkan sebuah irama ketukan sepatu yang begitu teratur, seperti music yang selalu mengalun.
J

 Udara malam begitu dingin, lalu lalang kendaraan berulang kali menyipratkan air yang tersisa dibahu jalan samping barat perpustakaan. Sedari tadi Putra tidak menyadari jika hujan mengguyur isi kota Jogja, keasikannya pada sebuah novel benar-benar menghilangkan kesadaran pada langit yang telah memuntahkan segala isi untuk memberikan energi bagi cikal bakal tunas yang akan tumbuh. Bahkan adzan magrib tak digubris, dunia sastra benar-benar membawanya kedalam imajinasi cerita yang penuh fantasi.

Tepat didepan gerbang kampus barat seorang wanita menyapa dengan melambaikan sebuah tangan. Mata putra melirik ke arahnya, mencoba mengingat-ingat sosok wajah yang tidak asing namun cukup misterius untuk dipikirkan. Putra yang berada di seberang jalan dari kampus timur sangat penasaran namun seolah mengabaikan sebuah sapaan.

“Putra.. Putra mau kemana?”
Putra kembali melirik padahal satu langkah baru saja menjauh, naas kata hati membuatnya menghampiri wanita berjilbab putih. Jalanan begitu ramai dilewati kendaraan yang membuat kakinya seolah ingin loncat ke seberang.

Tatap matanya seraya menengok ke arah kanan, terlihatnya sedan putih berlabel avansa yang mendekat. Tin…tin… sontak suara avansa yang lewat menyipratkan beberapa liter air yang menggenang dipinggir jalan. Celana putra basah, ban yang menggelinding mencipratkan beberapa liter air. Amarah benar-benar merajai, kekecewaannya pada sopir sedan yang tak hati-hati bahkan tidak berhenti untuk mengucapkan sebuah permintaan maaf membuatnya geram.

Putra menengok dasar aspal, melihat batu kerikil yang menggoda untuk menuntaskan sebuah dendam. Menunduk, mengulurkan tangan kanannya untuk menggenggam sebuah batu kerikil yang diincar. Putra hampir tidak sadar jika diseberang sana seorang wanita setia menunggu.

“Putra kamu ngapain? Ayook kesini”
Sebuah teriakan yang membuatnya terpanggil, membidik wajah perempuan yang telah menunggu. Raut wajahnya begitu khawatir terekam pada mata Putra yang begitu awas. Wanita berkaca mata, jilbab putih menghadirkan sinar meski muka yang tak begitu putih namun cukup menyilaukan.

Putra tak menghiraukan  sebuah teriakan yang membuat dirinya berhenti sejenak, ambisi untuk membalaskan dendam pada sedan putih benar-benar menutup kata hati. Kini Putra telah menggenggam sebuah batu kerikil, mencoba untuk segera berdiri namun langkahnya terhenti. Tepat didepannya berdiri sosok wanita yang sedari tadi telah menanti, menyebrang bagaikan kilat mencegah aksi nekat.
“maafkanlah, pemberi maaf itu hebat lho”
Wanita itu mengulurkan sebuah tangan, mengajak putra untuk berdiri melepaskan sebuah dendam yang merangkul sedari tadi. Uluran tangan yang memaksa dunianya berhenti, senyum yang begitu manis membuyarkan focus. Dendam yang menggelora berangsur-angsur luntur, tutur sapa seorang wanita membuatnya luluh.
“makasih udah ingetin aku”
Uluran tangan itu tak digubris, meski hatinya terasa ditenangkan namun rasa takut itu masih menghampa. Keadaan itu membuat Putra sedikit canggung, mengingat wanita yang begitu baik untuk menolongnya dibalas ketus dengan sebuah perlakuan. “Aku bisa berdiri sendiri tanpa perlu sebuah bantuan” Putra menggema.
“Minggir dulu yook, takutnya kecipratan lagi”
Tanpa sebuah kata Putra menurut pada bujuk rayu, wanita itu memang luar biasa meluluhkan Putra yang keras kepala. Lalu mereka beranjak dari jalan, empat mata seraya melotot mencari tempat persinggahan. Sampai pada akhirnya lima langkah telah dilalui, Putra menemukan sebuah tempat ngobrol yang menarik untuk dijamahi.
“Di bawah pohon beringin itu kayaknya asik” sebuah lontaran kata yang membuat wanita mengangguk, seraya melangkah bersama menyusuri tempat yang cukup teduh untuk menentramkan hati yang menyisakan dendam.
J
Tepat dibawah pohon beringin, suasan tak begitu ramai terdapat 5 orang yang menjamahnya. Sepasang pria berambut gondrong asik ngobrol diujung kursi paling kanan, ditambah dua pria yang sedang asik mabar sudahlah cukup untuk menghapus suasana sepi di malam itu. Tepat berada di pingir jalan, tengah terlihat seorang gadis memakai masker yang amat resah menatap ponsel. Sepertinya dia sedang menungu seseorang, terlihat dari raut muka yang sekali-duakali menengok jalan raya yang begitu ramai berharap penantiantannya segera usai.

Malam itu menjadi obrolah yang cukup panjang untuk Putra yang tak biasa bincang. Keduanya duduk di sayap kiri jika seseorang membelakangi gedung FEBI, jarak yang masih terjaga terlampau setengah meter. Wanita itu membuka sebuah obrolan, dengan sebuah pertanyaan yang pernah terlontar tadi diseberang jalan.
“Aku abis dari perpus, sebenarnya tadi mau ke Warung Makan” sebuah tujuan awal yang tertunda karena seorang wanita yang menyapa dari seberang jalan membuat Putra banting stir membalikkan sebuah tujuan.
“Maaf ya Put, gara-gara aku celanamu basah seperti ini”
“ini bukan kesalahan mu, aku yang gak hati-hati”
Sesaat keduanya asik dengan dunianya sendiri, tak tau apa yang harus dibicarakan. Putra merogoh saku celana, mengambil sebuah gawai yang ia bawa. Seperti biasa tak ada pesan masuk kecuali pesan group yang selalu mewarnai keramaian disetiap malam, wanita itu mencoba menanyakan sebuah hal.
“Putra tadi chat ku kok ngga dibales?”
“chat yang mana?”
Nampaknya Putra tidak menyadari jika wanita yang sedari tadi adalah Meliana yang memberi sebuah pesan ketika ia hendak pulang dari perpustakaan. Wanita itu mencoba menyambar gawai yang Putra genggam, dan berhasil merebutnya. Putra tak mencoba melawan sebuah tindakan yang dilakakukan wanita itu, baginya sudahlah yang penting aku masih bisa mengawasi gerak-geriknya.
“Tuh kan belom disimpen”
“maaf abis aku ga tau Meliana tu yang mana”
Wanita itu asik dengan gawai milik Putra, tak menggubris apa yang dikatakan Putra, yang ia lakukan hanyalah menyimpan nomornya sendiri di handphone yang Putra miliki.
“Aku kasih nama Meliana ya”
“terserah”
“aku pasang pin biar aku jadi yang nomor satu”
“gila kamu”
“bodo amat, orang chat kamu isinya group semua”
Putra merebut gawai yang dibawa si meliana, seketika itu suasana sedikit berubah. Jika hujan yang telah mengguyur isi jogja harusnya dapat meneduhkan suasana, kini jadi nyala api yang begitu membara dipenuhi rasa geram. Putra sedikit kesal dengan Meliana yang berani mengacak-acak whatsapp yang ia punya.
“maaf Put, aku gak bermaksud lancang” Meliana sedikit khawatir terhadap apa yang terlihat dari balik wajah Putra, meski sinar lampu tak dapat menerangkan raut wajah seutuhnya namun Meliana tetap dapat menafsirkan kesal yang berkobar dipikirannya.
“gapapa” jawab Putra dengan ketus.

Meliana menelan ludah, kini suasana kembali sunyi. Dua orang pria gondrong yang asik ngobrol telah menghilang, begitu juga dengan yang sedang mabar. Sementara Putra dan Meliana asik dengan dunianya masing-masing, tepat di pinggir jalan gadis berparas ayu masih setia menunggu. Berulang kali gadis itu mengusap lengan, bisa ditebak dia merasa tidak nyaman dan kedinginan.
Selang beberapa menit, suara motor khas kenalpot nobi menghampiri tempat yang disinggahi. Motor matic yang telah didesain sedemikian rupa menjadi pemikat para pecintanya, bisa ditebak dia anak racing yang suka berkeliaran ditengah malam. Pakaian yang ia kenakan mewarnai variasi motor yang ia tanggalkan, berani sekali melintas di kota Jogja, Putra menggebu-gebu.
Motor itu berhenti tepat didepan wanita yang terlihat sedang menunggu seseorang. Klek… Motor disandarkan oleh pengendaranya. Membuka helm, terlihatlah pria berambut Putih namun masih terlihat muda, menyapa gadis yang sedari tadi duduk didepan pohon itu.
Putra dan Meliana melirik kearah mereka, “Mel kira-kira apa yang dirasain wanita itu?”
“Mungkin dia seneng, kasian juga udah nunggu cukup lama”
“Dia kedinginan lho, sampe usap-usap lengan”
“Kok kamu bisa sedetail ini sii Put”
“hmmm” Lagi-lagi keadaan semakin membisu tatkala Putra tak mengatakan sebuah jawaban yang terlontar dari Meliana.
Putra kembali mengawasi wanita bermasker itu, tangannya begitu mengepal seperti sedang merasa khawatir. Namun, Putra tak berani menghampirinya karena semua masih praduga. Dari samping kirinya Meliana sedang asik menatap wajah Putra yang begitu antusias mengawasi wanita bermasker yang penuh misteri. “mel coba liat mereka”
“ada apa emang?”
“ada yang mencurigakan nggak sih?”
“biasa aja tu”
Putra tak henti-henti melotot, pandanganya begitu awas mengamati gerak-gerik mencurigakan. Pria berambut putih itu merambatkan tangan mencoba menyentuh tubuh wanita, namun yang terlihat hanyalah sebuah penolakan.
“Tolong, tolong, tolong.
Putra bergegas berlari menghampiri mereka, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. “woii ngapain lu gak usah ikut campur urusan orang”
“beraninya jangan sama cewek dong”
Tangannya mengepal, ancang-ancang mendaratkan sebuah pukulan yang teramat dahsyat, dan benar selang beberapa detik tangannya menghujam pipi. Putra mencoba untuk membalas, namun dari arah belakang Meliana mencoba mencegah dan menggampai tangan yang sudah siap untuk kusambarkan di pipi pria berambut putih itu. “sudah Putra jangan dibales, gak akan selesai”
Keadaan semakin mencekam ketika satpam yang berjaga didepan gerbang berlari sekencang kilat sambil berteriak menghampiri keributan.
“Woii kalian ngapain ribut-ribut disini”
Pria itu terlihat panik kedatangan satpam yang akan segera menerka, lalu mengambil ancang-ancang menstater motor untuk melarikan diri.
“Woiii mau keman lu” Sambar Meliana dengan gaya bicara kerasnya, sementara disatu sisi Putra ingin melempar tas yang ia gendong kearah motor namun semua tindakan itu lagi-lagi dihentikan oleh gadis bermasker.
“Sudah cukup gak perlu dibalas, aku gapapa kok”
Seraya Putra melirik wanita itu, suara yang tak asing baginya. Otaknya kembali berfikir mencoba mengingat suara yang pernah didengarnya sambil menatap bola mata yang dimiliki.
“kayaknya aku gak asing sama kamu” terang Putra yang ingin tahu.
“iya Put”
“Tuh kan kamu tau aku, kenapa nggak sapa aku tadi?”
“ga enak ada pacarmu”
“loh kalian saling kenal toh, aku temen kelasnya Putra mbak” sambar Meliana
Wanita itu membuka sebuah masker yang menempel diwajahnya, sontak terkejut Putra melihat wanita yang tak disangka-sangka. Teman baru yang ia kenal beberapa bulan yang lalu ketika tes masuk kuliah yang sempat membuat dirinya sedikit mengenal dunia, hanya saja kelabu tetaplah terombang-ambing pilu.
“Sofia” Putra nampak terkejut dan sumringah, seolah tak percaya bahwa perpisahan dikampus putih bukanlah sebuah perpisahan yang terakhir, namun hanyalah sebuah jeda. Sahabat baru yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri datang kembali.
“Mbak ayoo duduk dikursi itu, sambil menenangkan diri” Meliana mengajak Sofia yang masih terlihat syok akibat pria yang hendak berbuat kurang ajar terhadapnya.
  Kursi yang menjadi tempat nongkrong bagi kalayak orang seraya sepi setelah beberapa orang berangsur-angsur pergi, sementara satpam yang bertugas tengah asik mengejar pria yang hendak melecehkan gadis yang tengah asik menunggu dipinggir jalan.
J
“Gimana keadaanmu Sof?”
“aku udah tenang kok Put”
“syukurlah, oiya kamu kok bisa ada disini?”
“aku nunggu dijemput temen katanya sih dia mau aku anterin ke kosan”
“Ow.. kamu kuliah disini too? Keterima di jurusan apa Sof?”
“iya Put, aku ikut tes lagi kemarin dan kebetulan keterima di IKS fakultas dakwah”
 Kebahagian terpancarkan di wajah Putra, gelapnya malam tak membuat sebuah kebahagian ikut dilenyapkan. Hanya saja disatu sisi Meliana yang mendung tengah asik mengamati ekspresi Putra yang begitu perhatian.
J

“Rintik hujan tak beralasan tuk jatuh”
“Jatuhnya membawa pilihan menangkan ataupun menghancurkan”

Ditengah keramaian yang melenyapkan hening malam, terlihat seberkas sinar dari arah barat. Suara motor kembali bergemuruh menambah kebisingan dimalam hari, Sofia yang tengah asik bercengkrama melirik ke suara yang tak asing.
“eh aku pamit dulu ya itu temenku udah datang” Sofia mulai beranjak dari tempat duduk sambil melambaikan tangan pada pengendara motor.
“Sof hati-hati dijalan” sapa Putra dengan penuh perhatian yang sedikit cemas.
“Iya Putra, makasih”
Putra hanya menelan ludah ketika Sofia bergegas pergi tuk menemui pria itu, sementara disatu sisi Pria yang hendak menjemput Sofia berhenti tepat didepannya menyapa dengan sebuah anggukan kepala tanpa melepas helm.
J
“Bye-bye” ucapan terakhir sebelum saatnya Sofia pergi sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
Meliana tengah asik menatap ekspresi Putra yang begitu tak ingin kehilangan Sofia yang telah pergi bersama pria itu,
“Put kayaknya kamu seneng banget tadi, kok sekarang keliatan sedih”
“sotoi kamu”
“iya eh, kamu beda banget. Jangan-jangan kamu suka sama Sofia”
“Enggak Mel, kita baru kenal waktu tes masuk kuliah disini”
“Owalah gitu”
J
Suasana malam semakin sepi bahkan larut, beberapakali Putra melirik jam ditengah perbincangan yang ia lakukan sedari tadi. Pejalan kaki yang berlalu lalang didepan pohon beringin tak ditemui sekalipun, hanya suara jangkrik yang semakin menjerit dikala malam. Malam itu terasa panjang baginya, sosok Sofia yang tiba-tiba hadir diantara obrolan kecil yang ia lakukan bersama Meliana menambah panjangnya malam yang telah kehilangan sinar rembulan. Malam yang semakin larut ditambah gerimis yang menumpahkan sedikit hidupnya membuat mereka harus segera mengahiri perjumpaan singkat itu.
“Aku pulang dulu ya”
“iya Put, maaf curi waktumu”
“santai”
“sampai ketemu besok”
“Bye-bye”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUTORIAL MEMBUAT APLIKASI "SENANG MENGERJAKAN PR"

Teras kos dekat Pak RT

Rumah dan kehangatannya