CERPEN 2020: AFIRMASI PAGI DAN KAMU
AFIRMASI
PAGI DAN KAMU
Sore
itu senja mulai meredup, tarian ilalang berbanjar layaknya tarian saman. Putra
termenung sepi di gubuk sawah memandang senja mulai memerah dengan sejuta keindahan
siluet membentuk bayang-bayang di atap langit yang tak membiru lagi.
Kala
itu nampak hati yang patah diterjang angin sore yang membabi buta tak dapat terhindarkan
membawa sebuah keputusasaan. “Maju tak gentar” seolah terabaikan, sebuah lagu
yang berkobar harusnya dinyanyikan dengan suara yang lantang, kini sunyi layu dalam tanah yang tandus. Sungguh malang melihat
senja yang menolak tertawa menyembunyikan sebuah lara yang dibawanya pergi
bersama malam yang gulita.
“Sudahlah
semua akan segera berlalu” sebuah doa terlontar melalui bibirnya seolah memihak
lupa atas segala resah yang menyayat nada dan melodi yang masuk kedalam gendang
telinga.
Kegalauan
ini berawal ketika Putra menjalankan aktivitas di kampusnya, pergaulan yang tak
sekental daun dan ranting yang selalu bersama sepanjang hari hingga maut
sebagai pemisah. Mungkin dia hanyalah sebuah pelengkap kelas, sosok yang tak
pernah terlihat bahkan tak bersuara. Acuh terhadap rana social yang membuat
dirinya tak memiliki teman. Temannya
hanyalah sebuah buku yang tertata rapi didalam rak sudut kamar yang dipandang
setiap hari, hidupnya hanyalah seorang diri acuh dan melawan sebuah prinsip
makluk social, hingga pada akhirnya ditemuinya sosok wanita yang hadir ditengah
senja yang segera sirna. Bukan malam karena dia menyejukan, bukan juga rembulan
yang selalu merona memancarkan senyum disela-sela angin malam.
“Kamulah
pagi”
“Pembawa
semangat dalam pembuka hari yang menyimpan kerinduan dikemudian hari”
Putra
memang belum lama mengenalnya, wanita berpipi gembil, bulat melekuk tubuhnya bersuara
lantang dengan nada yang sedikit menaik.
“Aku
hanyalah aku yang tak berani menatap dunia, berkata hai saja aku tak mampu”
dalam hati Putra meronta sambil melanjutkan imajinasi dalam khayalan yang tak
terhingga.
Hari
ini aku ingin bercerita kepadamu, bercerita tentang sebuah tujuan yang
membawaku kedalam tujuan yang maya, tujuan yang tak pernah kutahu letak
akhirnya membawaku kedalam jurang-jurang kelam yang dalam dan terjal untuk
ditamatkan.
Sebuah
cita-cita yang ingin dicapai, menggapai asa dibalik ketidakmampuan diri. Aku
hanyalah sosok yang tak memiliki bakat apa-apa, berkata padanya saja aku tak
mampu apalagi menggapai mimpiku. Merunduk menahan malu dibalik ramainya kota
yang kejam ini. Aku sendiri tanpa sebuah penemani hanya saja imajinasi yang
membayang dalam sanubari.
Kala
itu aku mendapat kesempatan mengekspresikan diri didepan teman sekelasku, gugup
rasanya namun aku harus mengabaikanya. Berjuta kali raga ini kucoba melepas sebuah
ketidakberdayaan itu, sayang semua hanyalah bayangan semu yang ingin menjadi nyata.
Faktanya aku gagal melakukanya meski telah kucoba untuk membebaskan tubuh yang
terbelenggu.
Semua
teman menyoraki presentasiku, di bantai habis-habisan dengan derasnya
pertanyaan yang membuatku pusing kepala.
“Calon
guru kok ngga bisa ngomong”
“DASAR
TOLOL”
Semua
teman menghujat sementara didepan sana aku terdiam membisu tanpa sebuah kata,
aku memang tak terbiasa berbicara didepan orang terutama berbicara dengan orang
banyak, seperti biasa sebagian besar waktuku habis ditelan imajinasi yang membuatku
masuk kedalam bilik khayalan, yaitu ketika aku berada didalam sudut-sudut kamar
tempat peristirahatan. Mungkin orang menyebutku sebagai sosok orang yang
pendiam dan lebih menyukai bergaul
dengan sepi tanpa menghiraukan sebuah tali ikatan di lingkungan masyarakat.
“Aku
adalah aku, pria pendiam yang tak memiliki banyak teman” hingga pada suatu masa
aku duduk ditaman fakultas dan seperti biasa sendiri menatap sepi menatap
sebuah gawai.
15
menit pertama sepi masih menyapa hingga
pada akhirnya aku mendapat sebuah pesan dari seorang wanita yang mengajakku
untuk menemaninya ke perpustakaan. Awalnya kaget membaca sebuah pesan yang
kudapatkan karena selama ini tidak ada satu orangpun teman yang mau bergaul
denganku terutama karena sikap yang cuek acuh dan tak mau tau. “PUTRA”
Siang
itu Putra benar-benar bingung menatap sebuah gawai, schrool atas schrool bawah
memikirkan sebuah balasan. Iya atau tidak? Menolak tapi tak enak, apalagi dia
teman satu kelas, tapi kalau iya apakah semua akan baik-baik saja? Otaknya
penuh tanda tanya memikirkan sebuah jawaban.
Singkat
cerita dia memutuskan untuk menemani wanita itu, mencari buku diperpustakaan.
Namanya Meliana gadis lucu berpipi gembul, pipinya tertancap warna merah
dikedua pipi bagian kiri dan kananya. Tubuhnya tak seperti Putra, mungkin kalau
didekatkan keduanya seperti angka sepuluh Putra angka satu dan Meliana nol-nya.
Pada
akhirnya Meliana menemui Putra di taman fakultas, bergegas pergi ke tujuan
awal. Keduanya berjalan bersama menyelusuri lorong-lorong bawah tanah disamping
masjid UIN-SUKA. Siang itu tubuh Putra gemetar penuh canggung, mungkin ini
pertamakalinya dia berjalan bersama lawan jenisnya. Sifat penakut yang melekat
dalam diri membuat tak ada sedikitpun obrolan yang tercipta melalui bibir Putra,
bahkan keduanya hanya focus terhadap sebuah perjalanan menuju perpus kampus.
Siang
yang terik membakar kulit, sinarnya masuk kedalam pori-pori menghadirkan bau
khas dibalik keringat membawa langkah semakin mendekat. Cuaca di Kota Jogja
memang tak selalu bersahabat denganya bahkan tak menentu, terkadang sinarnya
menghangat syahdu jika diiringi angin barat yang menyejukan tapi bau aspal
jalan beserta pasanganya terkadang selalu menyilaukan rasa dan membuat pening
kepala.
Tak
terasa langkahnya pun mulai menginjak ditujuan awal, teriknya mentari tak
menghentikan sebuah langkah menuju perpus di kampus timur didepan jalan Marsda
Adisucipto Yogyakarta. Sedikit cerita bahwa perpustakaan ini merupakan sumber
belajar dan sumber intelektual yang lengkap bagi mahasiswa terutama dalam
meunjang pendidikan di Perguruan Tinggi dan dalam mewujudkan Tri Darma
Pendidikan.
J
Perlahan
tapi pasti menaiki sebuah tangga yang tersusun rapi Puting merundak menyusun
gedung-gedung penantang langit, tak terasa keduanya telah sampai di lantai
paling atap. Mencari sebuah buku di rak 400, Putra membantu Meliana sampai
benar-benar mendapatkan buku yang hendak dicarinya. Opac memang sangat membantu
memperoleh sebuah posisi buku berada disebelah mana, melaluinya kita dapat
dengan mudah mencari sebuah buku tanpa harus menyusuri rak satu persatu.
Putra
memandang beberapa koleksi buku di rak empat ratus itu, beberapa nomor telah
diurutkan sampai pada akhirnya pandangan tertunjuk. Tanganya mengangkat
mengambil sebuah buku
“Meliana
buku yang kamu maksud ini bukan?”
Tatapan
Meliana focus pada judul buku yang ditunjukkan Putra, kemudian senyum merona
terpancar dari balik wajahnya.
“Makasih
Put”
“sama-sama,
mel karena bukunya udah ketemu aku balik ya” Meliana menatap mencoba mencegah
kepergian Putra yang ingin segera mengakhiri pertemuan itu.
Menyambar
sebuah tangan diraihnya dan berkata “Put kayaknya ada yang perlu aku omongin
deh” Meliana mulai mengajak Putra duduk disuatu kursi tak jauh dari posisinya
dan diapun mengikuti permintaan Meliana. Sambaran tangan itu seakan mencairkan
hati Putra yang biasanya tak mau untuk diajak bicara dengan teman sebayanya.
J
Waktu
berjalan perlahan suasana di
perpustakaan mulai tercengang, Meliana mulai menampakkan obrolan dengan Putra.
Mencoba membuka sebuah hati dibalik tutupnya kalbu dengan sebuah kata tanpa
makna untuk dapat bercerita tentang suasana hati disiang itu
“Putra
kamu kenapa nggak mau ngumpul sama temen-temen di kelas?”
“lagi
pengen sendiri”
“sendirinya
kok tiap hari” Putra hanya mengangguk mendengar sebuah perkataan itu, seolah
tak peduli apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya.
Nampak
mulai ada perdebatan diantara mereka, Meliana yang ngotot agar Putra membuka
suara, sedangkan lagi-lagi Putra tetap mengendalikan lisan dari balik bibir.
Siang itu hawa panas merasuk melalui celah-celah yang menerawang meski sebenarnya posisinya tak jauh dari Air
Conditional, namun sikap Meliana yang terus memancing sebuah percakapan
diantara mereka membuat Putra terbuka mengeluarkan sebuah kata.
Pada
mulanya Meliana banyak berbincang tentang sebuah kehidupan awal perkuliahanya,
mengadu nasib diperantauan jauh dari orang tua bahkan meninggalkan sanak
saudara. Masa lalu yang selalu menghantui, sosok ayah yang selalu membuatnya
risau akan sebuah hubungan keluarga sehingga terasa sulit meninggalkan kota
Palembang dan menyambut hidup barunya di kota pelajar. Rasa khawatir pada sang
ayah jika suatu saat nanti melukai seorang ibu yang dicintainya melekat kembali,
bahkan membuatnya sempat putus harapan sampai pada akhirnya ia memilih sebuah
jalan yang jauh dari adab dan norma. Semua itu dilakukanya sebagai sebuah
pelampiasan pada sang ayah yang bertindak kasar kepada keluarganya.
Banyak
hal yang telah diperbuat oleh Ayah Meliana sehingga membuatnya terperangkap
pada kehidupan tanpa sepercik cahaya yang menerangi hati, kekerasan dalam rumah
tangga yang selalu menimpa dia dan ibu yang dicintainya, seolah membuat meliana tak percaya lagi dengan
seorang lelaki. Hingga suatu ketika pelampiasan itu terjadi, menyalahi sebuah
kodrat dari sang ilahi. Mungkin dunia itu seakan mengingatkan kita pada
kehidupan zaman nabi luth yaitu ketika manusia menyalahi sebuah kodrat untuk
bersama dengan sosok sejenisnya tanpa menghiraukan lawan jenisnya. Semua itu
dilakukan Meliana ketika dia benar-benar merasa hidup ini tak ada artinya lagi,
masa lalu yang kelam membuatnya geram menatap sebuah masa depan, bahkan sosok
yang selalu dicintainya yang katanya akan mempertanggung jawabkan sebuah
kecelakaan yang pernah dilakukanya bersama itu malah pergi menghilang bahkan
tega menyakiti sampai memukuli meliana berkali-kali. Tentu semua masa lalu itu
sangatlah membuat Meliana terpuruk, sampai dia benar-benar jatuh kedalam jurang
yang dalam sampai benar-benar tak dapat bangkit dari lubang itu.
“Jika senja telah
ditelan gelapnya malam, yakinlah bahwa pagi akan datang membawa afirmasi atas
kehadiran dirimu yang baru”
Semua
orang berhak melakukan sebuah keputuasan, seburuk apapun itu sekejam apapun
itu, sehina apapun itu, serendah apapun itu. Satu hal yang perlu kamu ketahui
bahwa hidupmu tidak berhenti sampai disini. Masa lalu Meliana memang sanagt
kelam, ditambah tuntutan pertanggung jawaban yang tidak pernah terbayarkan,
bahkan keresahan pada sosok ayah yang mengkawatirkan keluarganya selalui
mengiringi pikiran Meliana. Tapi, perlu kita ketahui bahwa Allah tidak akan
pernah menguji hambanya melebihi dari batas kemampuanya, oleh karena itu kamu
harus yakin bahwa kamu bisa melewati itu semua dengan membuka lembaran baru.
Perlahan
namun pasti, keadaan meliana mulai membaik orang tua yang mengetahui
perilakunya selama ini membuat sang ayah sadar sehingga terucaplah kata maaf
terucap dan janji tak ingin mengulangi terikat dalam tali. Tak hanya itu
meliana mulai menyadari bahwa dia tidak perlu mengharpkan mantan pacarnya akan
kembali untuk mempertanggung-jawabkan apa yang telah dilakukanya, biarlah dia
membuktikan jika Meliana dapat hidup sendiri tanpa bantuanya. Bahkan,
kekasihnya kini yang telah saya ceritakan seperti kisah dalam masa nabi luth
dia mulai bisa membuka matanya untuk benar-benar meninggalkan kehidupan yang
membuatnya terjebak jauh dari adab dan norma itu.
Kini
meliana mulai melupakan semua masa lalu yang kelam itu, membuka lembaran baru
di kota pelajar ini. Berharap cahaya menerangi hatinya kembali, dan afirmasi
positif menemani langkahnya. Singkat cerita di jogja dia banyak menemukan hal
baru, bahkan dikelas dia sangat aktif dalam berdiskusi. Meliana tak ingin
terpuruk dalam kesedihan masa lalunya, dia percaya hidup ini terus berjalan.
“AKU TIDAK INGIN TERPURUK PADA MASA LALU, TUNJUKKAN PADA DUNIA AKU BISA
MELAKUKANYA” (Meliana)
Mendengar
sebuah cerita yang diutarakan meliana Putra terdiam, seolah tak percaya bahwa
masalah yang dihadapinya sangatlah berat, hingga pada akhirnya dia membuka
sebuah cerita kepada meliana tentang kehidupan yang menimpanya. Putra adalah
sosok pendiam dan misterius bagi karibnya, tak banyak kata keluar dari
bibirnya. Beruntunglah meliana dapat mendengar kisah itu, kisah yang tak pernah
diketahui banyak temanya. Dan benar, masa lalunya juga tak secerah awan dising
itu. Meliana terkejut mendengar apa yang diutarakan oleh Putra “aku hanyalah
manusia bodoh yang selalu menyakiti temanku, dan semua ciptaanya” Itulah yang
membuat Putra terpuruk kini, seolah tak ingin masuk dalam ranah social,
mercumbu dengan sepi disudut kamar, menghabiskan waktu senidiri. Tak hanya itu
satu hal yang perlu Meliana ketahui bahwa kepergian ayah yang selalu
dicintainya kini membuatnya seolah merasa sendiri, dunia ini seakan-akan tak
ada artinya tanpa dirinya. Tak ada yang menggendongnya diwaktu malam bahkan
siang menjelang shalat jum’at. Penantin selalu terjadi diwaktu sabtu sore menunggu
ayah pulang.
Meliana
mencoba menguatkan, kamu masih bisa keluar dari zona ini. Percayalah tuhan
masih bersama kamu, ayahmu masih menatapmu diatas sana, dan aku akan bersamamu
tuk menguatkan ketika kamu terjatuh dari masa lalu yang kelam itu. Kamu introvert
tapi kamu punya banyak kesempatan untuk membuktikan pada dunia bahwa kamu bisa
melalui itu semua, percayalah. Lihat kisah ku, maka kamu akan terkuatkan.
Jangan
pernah merasa sendiri, disini kamu punya banyak teman. mereka keluargamu,
sahabatmu yang tak akan pernah meninggalkan kamu. Jangan pernah merasa keputusasan
terbesar mu menghancurkan dirimu sendiri seperti apa yang telah aku lakukan
dimasa itu. Allah maha pengampun dari segala keputusasan yang telah kita
perbuat, “sungguh Allah maha menerima taubat”.
Putra
adalah pria yang berhati lembut, tak heran jika matanya berkaca-kaca. Tapi
semua itu menyadarkanya bahwa hidup ini tidak akan pernah berhenti begitu saja,
kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi dimasa depan. Entah apa itu,
yang paling penting jalani hidup ini dengan ikhlas, merelakan sesuatu yang
telah terjadi. Jadikan masa lalu mu untuk menginjak masa depan yang kokoh.
Putra
keluar dari zona nyaman, kini dia berani menatap sebuah hari bahkan berjalan
melawan kejamnya kota yang anarki. Hidupnya tak seperti dulu lagi seperti
gambaran yang telah dikenal oleh meliana pada mulanya. Dia mulai terbuka,
bergaul, berinteraksi dengan teman sebanyanya.
Selamat
katanya, kamu dapat merasakan indahnya kebersamaan dengan sesama.
Selamat !,
kamu tidak merasa sendiri lagi
Selamat !
bahwa temanmu akan menguatkan mu ketika kamu terjatuh dan tak dapat bangkit
lagi.
Komentar
Posting Komentar